1.Sensori-Motorik (0-18 atau 24 bulan)
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja.
2.Pra-Operasional (± 18 bulan-7 tahun) Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal.
Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (imitasi) dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda).
Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit.
Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konseptual) untuk mengambil perspektif orang lain. Contoh: anak diajak kelapangan balap mobil. Dilapangan tadi ada 3 buah mobil merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan urutan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut perspektifnya sendiri.
Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimesi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini. Contoh: sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam periode ini adalah percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut:
Totok, kau punya saudara | Ya! |
Siapa nama saudaramu | Mita |
Apa Mita punya saudara | Tidak |
Hubungan “Totok punya saudara Mita” bagi anak tidak dapat dibalik.
Berpikir pra-operasional adalah terarah statis. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B. Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tongkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat yang sedang jatuh diabaikan oleh anak.
3.Operasional Konkrit (7-11 tahun)
Bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Contoh: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasi tsb.
4.Operasional Formal (mulai 11 tahun)
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
1. Sifat deduktif-hipotetis: Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoritis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoritis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi, kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. berhubung dengan itu maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.
2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris. Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu secara teoritis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin; kemudian secara sistematis mencoba setiap sel matriks tsb secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya lagi.
Dari contoh ini nampak bahwa berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku “problem solving” yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar